JADWAL SHOLAT SEMARANG

Sabtu, 13 Juni 2009

BATU LONCATAN

Menjadi Dokter bukan cita2ku sejak kecil. Aku kuliah di Fakultas Kedokteran adalah hasil paksaan seluruh keluarga besar. Sebuah alasan sederhana dan klasik. Masa depan dokter lebih cerah dibanding lulusan lain (katanya), alas an lain adalah prestise. Dikeluarga besar ayah dan ibuku baru 1 orang yang berhasil menjadi dokter.Yaitu Tanteku yang tinggal diSemarang. seorang sepupu pernah terdaftar di FK trisakti Jakarta, tapi Drop Out di Semester 4, dengan alas an tidak kuat menerima pelajaran. Alasan yang sangat mengherankan untuk seorang yang sering menjadi juara kelas di sekolahnya. Ketiga Sepupu dari kakak ibuku juga tidak ada yang kuliah di kedokteran
Saat itu tinggal Aku yang masih sekolah kelas dua SMA dan kebetulan dianggap punya kemampuan lebih dibanding ketiga adikku diarahkan untuk masuk FK. Bosan, jenuh mendengar arahan dari orang2 tua tentang masa depan cerah yang dijanjikan saat memakai jas putih. Bagiku itu tak penting. Aku lebih berminat menjadi seorang psikolog, bagiku PSikolog itu manusia ajaib yang bisa membaca fikiran orang lain, keren karena bisa menggiring orang keluar dari masalahnya. Sejak kelas tiga SMA tekanan mulai terasa. Ayah ibu tidak hanya mengarahkan. Bahkan ancaman tidak akan dikuliahkan kalau ambil jurusan selain kedokteran sempat diutarakan.
Aku Kecewa, mengapa kesuksesan hanya dipandang dari sudut pandang materialistis dan prestise. Bujukan tiada henti dari kerabat dekat. Mereka bercerita tentang humanisme, moral, budi pekertidan topik sejenisnya. Ak mulai mengerti maksud baik orang tuaku. Masa lalu yang tragis dari kakek menjadi latar belakangnya. Ibuku adalah anak ke 7 dari 11 bersaudara. Yang tersisa tinggal 3 termasuk ibuku.semua meninggal karena berbagai sebab yang berpangkal rendahnya derajat kesehatan dan minimnya pengetahuan orang2 zaman dulu tentang kesehatan Kakek pernah berkata “ moga-moga anakku ada yang jadi dokter bisar ga ngalamin nasib naas kayak aku”. Harapan kakek terwujud. Seorang putrinya berhasil lulus dari FK UNDIP Tahun 1990.
Hatiku mulai terketuk, namun keinginan untuk menjadi psikolog masih tertanam. Sampai satu saat itu. Seorang sahabat yang sudah aku sayang seperti adik sendiri berkata langsung padaku setelah ia terbaring sakit dirumahnya selama satu minggu.. bahwa ia divonis dokter menderita kanker otak tahap awal. Batinku terasa teriris. Seketika itu juga sambil menangis aku berkata padanya bahwa aku ingin menjadi dokter dan menyembuhkan dia. Aku ingin dia bertahan hidup dan menunggu aku menyembuhkannya. Seketika itu juga pandangan tentang istimewanya seorang psikolog pudar. Tergantikan dengan kemuliaan seorang dokter. Tak lama kemudian guru kesayanganku divonis gagal ginjal kronik. Aku semakin berfikir bahwa Dokter laksana malaikat yang turun ke bumi yang bisa menyelamatkan mereka yang dipenghujung kematian
Sekarang sahabatku itu menghilang entah kemana. Aku merasa kehilangan sosoknya.. adik kecil yang mendorongku mencapai cita-citaku, adik kecil yang menghibur kala kalutku. Sekarang hanya surat usangnya yang terpajang di dinding kamarku. Surat yang menyatakan keharuan dan kebanggaannya ketika aku berkata aku akan menjadi seorang dokter. Surat yang menyatakan sayangnya dia padaku seperti sayangnya seorang adik pada kakaknya. Surat yang menyemangati aku saat aku merasa aku tak mampu lewati ini semua. Aku kini tak tau dimana dia berada, tak pernah ada beritanya. Kalau memang dia sudah menghadap Sang Khaliq, Ingin rasanya aku datang ke peraduan terakhirnya dan mengatakan rasa terima kasihku padanya.....

setiap orang memiliki batu loncatan untuk setiap langkah besar menuju masa depannya
batu loncatanku adalah seorang sahabat, adik yang merubah haluan hidupku saat ini
..kaulah kenangan terindahku..

read more..

0 komentar: